Monday 16 July 2007

LANGIT


;untuk Andrew Aditya

Aku menunggumu mengubah berlian ini menjadi hitam
agar serupa langit dimana kamu bisa bersemayam sebagai bintang.
Apa lagi yang bisa diharapkan saat cadas-cadas menjadi jalan
yang selalu gagal mengantarkanku kembali ke laut,
kecuali langit itu? Langit sudah memiringkan wajahnya sedemikian rupa
hingga kulihat milyaran warna berderet menyusuri benua dimana kegelisahan-kegelisahan dipoles sebagai corak yang mendebarkan untuk kemudian padam sebagai cerita.
Bersama cerita-cerita yang kaukirimkan
aku menunggumu melukis satu sudut langit menjadi warna kerudungku.

LAKON


;untuk Sasi Gendro Sari

Kita telah membayangkan ini sejak lama,

meja di bawah pohon akasia,

dua gelas es teh,

dan beberapa buku tentang botani dan Sherlock Holmes.

Sekurang-kurangnya waktu itu kita berharap matahari dan bulan tidak pernah berjalan

tapi dunia tetap memeram kita menjadi buah yang berbeda

dan kita hanya bisa pura-pura tidak kehilangan apa-apa.

Kusaksikan kesunyian memakamkan matahari

di laut dan padang ilalang

dan jendela-jendela tak lagi berupa dermaga dimana perahu-perahu ditambatkan

dan pintu-pintu adalah jalan dimana aku selamanya menjadi tamu yang tak sempat datang.

Lalu apakah gunanya pertemuan jika sejak dalam kenangan

kita berdua telah berakhir pada air mata?

Menjadi cahaya adalah keterasingan

bagi gerak dan napas yang dikerubuti keinginan.

Menjadi bayangan adalah kelelahan

bagi diam dan kematian yang dikerubuti penyesalan.

Aku tak lagi akan menuntunmu pulang.

SOLILOKUI

;untuk Andrew Aditya
Kalimatku terhabiskan pada rasa sakit.
Peradaban selalu meminjamiku puisi
tetapi hatiku telah berhenti menampung hujan sebagai air mata.
Belum juga kutemui dimana kebodohan ini akan berhenti,
pada kata yang tersimpan rahasia pada serpihan angin atau
pada kerikil yang berserak di depan pintumu.
Hidup adalah cermin yang dibolak-balik
sementara aku dan kamu adalah bola yang tak henti menggelinding.
Seperti ngengat kurasa memang akan begini akhirnya
membiarkan api membakari sayap sendiri
padahal abu hanya mengotori indahnya nyala api.
Dalam musnah apakah aku masih akan mendapatkan rupa?

BERANDA ITU

;untuk Sofan Amri
Kurasa hingga bertahun-tahun kemudian masih akan kukenang beranda itu:
pot-pot berisi bunga yang mati setelah mekar satu kali,
tembok yang catnya dikusamkan tidak oleh musim tapi oleh para peziarah yang datang membawa oleh-oleh dusta,
dan kamu yang singgah dengan keletihan yang pura-pura riang
mendengarkan omong kosongku tentang fosil-fosil dari jaman
yang sebenarnya tidak ada.
"Apakah kusam adalah warna campuran antara impian dan lelah?"
tanyamu saat matahari meruapkan paradoks-paradoks yang kaupunguti dari pinggir-pinggir jalan itu menjadi lelucon-lelucon berbisa.
Barangkali,jawabku,seperti kita yang semakin anomali.
Lalu kita lihat bisa itu beterbangan di udara,
mewangikan debu,kerikil dan batu-batu,
mengusamkan aku,kamu dan semua yang kelabu.
Dalam kekusaman mimpi yang tertinggal memang cuma lelah,adikku,
dan sedikit tentang beranda itu.

CEMBURU

;untuk sahabatku yang baru saja menikah
Tidak disebabkan karena wanita tempat kausandangkan namamu itu aku begini,
tidak juga karena berharap kau menyediakan relung dadamu sebagai rumahku
tapi karena aku tak bisa menghabiskan matahari terbenam sendirian.

KATA


;untuk Akhmad Tabrani



Yang membuatku singgah disini adalah wangi getah cemara itu

dan sebuah kebetulan.

Tapi perlukah itu dipercaya?

Kita tahu, dalam kata, dusta kehilangan kerahasiaannya.


Seperti kata yang tak rahasia

hujan tengah hari itu turun lagi disini.

Hujan tengah hari adalah apa yang selalu menjadi bagian yang berbeda dari

cerita-ceritamu tentang mercusuar, padang ilalang dan empedu yang manis.

Hujan tengah hari adalah selimut yang menyadarkanku bahwa

kita hanyalah sekumpulan orang sakit

sementara hidup adalah apa yang selalu bersiap untuk luka.


Dalam tawa selalu kau tanyakan,

"ke kertas yang mana kata-katamu akan kauistirahatkan?"

Seperti Rumi yang digilakan oleh ilusi-ilusi mulia,

kurasa aku telah lama kehilangan pena.

HUJAN


Inilah hujan yang kaucintai itu,Imam,

yang membuat kata-kata sama purbanya dengan senja

dan praktikum genetika tiba-tiba meloncat ke suatu tempat yang

di kemudian hari tersusun-susun sebagai mimpi.


Inilah hujan yang sangat kaucintai itu,Imam,

yang datang sebagai bayang yang kita tarikan,selalu,

dalam dua irama yang tidak sama:

kau menuntun basah itu,menjadikannya kuas bagi lukisan pohon philogenetikmu

sementara aku menelusuri jejak-jejak Chopin dan,selalu,

hampir mati dalam kemurungan.

Lalu sebagaimana nasib seorang pecinta yang malang,

kita cuma bisa mengutipnya sebagai kata,

dan,selalu,hanya kata.

SEPI

Di kamar ini kesepian tak memiliki tepi.
Milyaran kata ruap menjadi jazirah
dimana cinta menjelma omong kosong tiada tara.
Apakah sepi adalah keramaian yang sedang bosan
atau kata-kata yang berhenti kita maknai?
Saat malam memadamkan siang,
disini,
bersama sepi,
aku masih memunguti puisi.

ILUSI


Kota ini terus melelapkanku dalam gelisah

sebab kuntum-kuntum bunga bungur itu selalu

mengembalikan bayangmu kepadaku seperti gema.

Adakah yang lebih menyedihkan dari sajadah yang kutinggalkan

demi mimpi-mimpi purba tentang sarapan pagi bersama

di sebuah beranda yang dinaungi wangi cemara

sementara cinta hanyalah sekumpulan rencana

yang terlalu singkat dan terlalu rahasia untuk kita?

Namun sebelum aku mampu memulai rakaat baru

aku telah lelap dalam gelisah,

musim masih membiarkan bunga-bunga itu mekar

dan mimpi-mimpiku yang paling purba pun berubah perlahan

menjadi rencana-rencana.

MIMPI


Aku sering memimpikan

kita sibuk mengawinkan bunga anggrek kuning berbintik-bintik

lalu lupa untuk bangun.

UTOPIA


Aku ingin mendengarkan Chopin bersamamu

sambil memandangi hujan dan mempercayai

bahwa matahari masih bersedia

menunggu sedikit lebih lama.

KABUT




;untuk Muhamad Imam


Negeri yang tersembunyi di balik kabut itu adalah hatiku,

dan kabut tengah malam yang mengendap-endap liris itu

adalah kamu yang lupa jalan pulang.